70 Contoh Puisi Pendek yang Menyentuh Hati
cemara menderai sampai jauh,
terasa hari akan jadi malam,
ada beberapa dahan ditingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam
—
Coba tebak, potongan puisi di atas yang nulis siapa? Bukan Ananda Badudu atau Rara Sekar, yaa. Mereka memang mengapresiasi puisi tersebut lewat musikalisasi puisi.
Puisi di atas ditulis oleh Chairil Anwar. Judulnya Derai-Derai Cemara. Kalau diperhatikan, diksinya sederhana tapi susunan katanya itu indah banget. Nah, ciri-ciri puisi memang seperti itu guys.
Kamu masih inget kan ciri-ciri puisi beserta pengertian, unsur, dan strukturnya? Kalau lupa, boleh baca artikel ini dulu, ya!
Baca Juga: Terlengkap! Pengertian Puisi, Ciri, Contoh, Unsur, & Strukturnya
Nah, kali ini, kakak bakal ngajak kamu untuk langsung berselancar dalam contoh-contoh puisi dari berbagai tema. Langsung aja yuk disimak!
Contoh Puisi Pendidikan
1. Sajak Seonggok Jagung
Sajak Seonggok Jagung
(oleh W.S. Rendra)
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda
yang kurang sekolahan
Memandang jagung itu,
sang pemuda melihat ladang;
Ia melihat petani;
Ia melihat panen;
dan suatu hari subuh,
para wanita dengan gendongan
pergi ke pasar…
Dan ia juga melihat
suatu pagi hari
di dekat sumur
gadis-gadis bercanda
sambil menumbuk jagung
menjadi maisena.
Sedang di dalam dapur
tungku-tungku menyala.
Di dalam udara murni
tercium bau kue jagung.
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda.
Ia siap menggarap jagung.
Ia melihat kemungkinan
otak dan tangan
siap bekerja
Tetapi ini:
Seonggok jagung di kamar
dan seorang pemuda tamat SLA
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik
etalase ia melihat saingannya naik sepeda motor.
Ia melihat nomor-nomor lotre.
ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarnya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi
asing di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran
atau apa saja
bila pada akhirnya
ketika ia pulang ke daerahnya lalu berkata
Di sini aku merasa asing dan sepiiiii!
—
Psst, udah tau belum kalau di Aplikasi belajar Ruangguru, ada fitur Drill Soal? Aplikasi ini berisi kumpulan contoh soal latihan beserta pembahasannya, loh. Pas banget buat kamu mempersiapkan ujian. Langsung aja cobain dengan klik banner di bawah ini!
—
2. Puisi Sekolah di Pulau Kelapa
Sekolah di Pulau Kelapa
(oleh Imam Budiman)
sebuah sekolah—sedikit daratan
halamannya laut dan langit terbentang
sejauh mata menghadang di batas lazuardi.
tiada roda empat, pula jalan aspal
motor matik melupakan masa lalu
menanggalkan spion kepalanya.
pada jam istirahat, ditambatkan kapal mesin
dan perahu milik nelayan. seragam hari senin
disapu terik, anak-anak berebut membeli jajan
kepada seorang perempuan muda bermata
indah penjual mie instan dadakan
di kejauhan seorang guru berwajah datar
memantau di depan pagar—barangkali
menyimpan amarah, mungkin pula
sedikit kesepian.
3. Puisi tentang Mimpi
Menggapai Impian
(oleh Ni Nengah Restari)
Senyum terukir tipis
Menghias bibir yang manis
Langkah demi langkah berpijak
Mengejar angan yang bijak
Sejuta harapan kurengkuh
Laksa rintangan kutempuh
Laksa menuju kemenangan
Menggapai impian
Riang gembira jalan hidup
Hati ikhlas bahagia datang
Perjuangan dan doa penuh ikhlas
Bawa berkah yang berlimpah
4. Puisi tentang Murid Masa Kini
Suara Murid Masa Kini
(oleh Pipit Sriwulan)
Inginku bebas inginku lepas
Terserah air mengalir ke mana
Melewati pasir, lembah dan telaga
Berlari sekuat-kuatnya yang tanpa batas
Kebebasan mengolah cipta, rasa, dan karya itu hak kami
Tuk memupuk sejuta potensi yang terpatri di sanubari
Maka waktu, ilmu dan maju akan tumbuh dalam diri
Kemerdekaan dalam bermain dan belajar haruslah ditaati
Dukunglah kami, bimbinglah kami
Menggapai keemasan sebagai wujud dari mimpi
Doakan kami, agar tiada jalan yang tak pantas tuk dilalui
Kami hanyalah seekor semut yang pantas tuk disayangi
Sungguh pendidikan adalah pusaka
Harus selalu dijaga kemurnian dan keutuhannya
Mengayomi, memfasilitasi mencetak generasi
sesuai keyakinan falsafah negeri
Menopang kuat kemajuan negara,
berakarkan budaya Indonesia
Contoh Puisi Guru
5. Puisi Fasal-Fasal Ihwal Guru
Fasal-Fasal Ihwal Guru
(oleh Imam Budiman)
[pembuka]
dari para guru aku bermula,
segenap cahaya pewaris Nabi
[satu]
Guru adalah sampan dengan kemudi cinta serta dayung cahaya
yang melarung tubuhku bertualang ke samudera pengetahuan;
ke huruf-huruf arkais yang tak kukenali, ke taman bunga
penuh rumusan, angka-angka, juga kiasan bahasa
[dua]
Guru adalah peletak batu pertama di alas kepalaku,
upaya dirinya menuntun–membaca aksara zaman
cahaya dalam pengabdian: teladan dan kata-kata
[tiga]
Guru adalah mata air yang mengalir dalam sukmaku,
nasihat yang terbit dari ketulusan dan keluhuran cinta
semoga Tuhan selalu menerangi jalanmu; kini dan kelak
[empat]
Guru adalah muara khidmat tak berselat,
tanpa kenal payah hingga parau bersuara
–menjauhkanku dari segala tuba kejahilan
[lima]
Guru adalah kompas di tengah belantara
yang mengarahkanku mencintai sungai,
lapisan tanah, susunan langit, hujan
: semua rahasia semesta raya
[enam]
Guru adalah desau angin yang merawat dedaunan
yang melahirkan matahari kecil di hati dan pikiran
: menjadikan akal budiku manusia
[penutup]
kepada para guru aku akhiri,
segenap cahaya pewaris Nabi
6. Puisi Guru Baik dan Penurut
Guru Baik dan Penurut
(oleh Imam Budiman)
kemeja motif batik. rambut klimis. parfum murah. sepatu diusap sekenanya. pagi-pagi sekali saya harus berangkat ke sekolah. mengejar waktu. menghajar sepi. mengajar anak-anak kami yang kehilangan orang tua dalam profesi.
sekolah adalah lumbung ilmu. tapi lumbung ilmu belum tentu di sekolah.tahun-tahun pelik dan memprihatinkan, anak-anak mulai bosan belajar.
anak-anak mulai merasa
terpaksa menuju sekolah.
anak-anak kini lebih mencintai langit, hutan serta sungai sebagai guru yang baik, penyayang dan tentu saja tak suka marah-marah.
pada pelajaran matematika, anak-anak dipaksa menghafal rumus, lalu menghitung rapi kesedihan demi kesedihan sampai umur bertaut uzur.
pada pelajaran bahasa Indonesia, anak-anak dipandu bermain-rangkai imaji dan metafor, lalu mengarang puisi yang tak pernah bisa dipahami oleh guru, bahkan oleh diri mereka sendiri.
sekolah-madrasah menerbitkan rasa tabah:
bilik-bilik keramaian yang asing, lalu lalang ilmu pengetahuan yang sunyi dalam keberaturan.
tetapi, kata Negara, sekolah adalah pilar utama dalam kemajuan dan kehidupan berbangsa.
sebagai guru yang baik,
saya pun iya-iya saja.
sebagai guru yang baik,
saya ikut apa kata Negara.
7. Puisi tentang Guru
Guru
(oleh Maya Novita)
Yang pandangannya lurus ke depan
Yang duduk tapi menutup mata
Yang bersandar di tembok dengan bahu kanan
Yang menopang dagu sambil memainkan earphone
Yang selalu membalikkan badan untuk tahu sudah ada di mana arah jarum jam
Yang menunduk sambil menumpahkan semua imajinasinya melalui pensil di tangan
Semua perbedaan tabiat
Semua perbedaan kegiatan individu
Semua perbedaan cara menyerap sesuatu
Di antara mereka semua,
Siapa yang ternyata paling fokus menghiraukan satu sosok penolong masa depan mereka di mimbar?
—
Yuk, pastikan akhir semestermu terselamatkan dengan promo PAS dari Brain Academy Online. Ada diskon estra sekaligus bonus eksklusif merchandise Clash of Champions, loh! Klik banner di bawah untuk langganan sekarang.
—
8. Puisi Terima Kasih Guru
Terima Kasih Guru
(oleh Chairil Anwar)
Terima kasih, guru
Untuk teladan yang telah kau berikan
Aku selalu mempertimbangkan semua yang kau ajarkan
Dan merefleksikan itu semua pada karakter pribadiku
Aku mau menjadi sepertimu
Pintar, menarik, dan gemesin
Positif, percaya diri, protektif
Aku mau menjadi sepertimu
Berpengetahuan, pemahaman yang dalam
Berpikir dengan hati dan juga kepala
Memberikan kami yang terbaik
Dengan sensitif dan penuh perhatian
Aku mau menjadi sepertimu
Memberikan waktumu, energi, dan bakatmu
Untuk meyakinkan masa depan yang cerah
Pada kita semua
Terima kasih, guru
Kau telah membimbing kami
Aku mau menjadi sepertimu
Contoh Puisi Sahabat
9. Puisi Sajak-Sajak Amelinda
Sajak-Sajak Amelinda
(oleh Laras Sekar Seruni)
/i/
ketika subuh
menjelma bait-bait
rindu
kita
dihampar garis waktu
yang masih bisu
tapi sama rata
sama rasa
/ii/
dan anak-anak
kucing berkejaran
di jalanan rindang
di depa kenangan
di hela jari-jari
kwatrinmu
dan aku
masih mencari sisa ceritamu
/iii/
di sela-sela jemuran
kersik-kersik teras
depan kamar
kresek-kresek hitam
bertebaran
menjadi bisik-bisik
suaramu yang
lekap dengan aroma siang
/iv/
duh, teman
turunkan segenap
suar yang kau bentangkan
di hadapannya
dan saat dia membuatmu
merana karena cinta,
katakan pada kita.
biar dia tahu rasanya
dilibas dengan kata-kata
/v/
kapan kita mengulang
fragmen hari ini dan
esok dan lusa dan
detik-detik berikutnya
dalam detak napasmu?
sebab kita tidak pernah
mengenal kemarin
/vi/
hanya ada
waktu
dan kamu
/vii/
aku mencintai hujan
dengan segenap
suara riuhnya
aku mencintai
pelangi
karena ada kita
di dalamnya
/viii/
sanggupkah kau
merindukan tiap
uap suaranya?
semagis sayap embun
di akhir pagi
sepurna jingga
di batas senja
Baca Juga: Memahami Cerpen: Pengertian, Sturktur, Jenis, dan Ciri-Ciri
10. Puisi Bahasa Langit
Bahasa Langit
(oleh Hanifah Nadya Kartika)
Gumpalan awan di langit biru
Bercerita kisah kita
Saat deras hujan bagai air mata
Dan cerah mentari jadi wajah kita
Warna pelangi di langit biru
Hanya jadi saksi bisu
Saksi kisah perjalananku denganmu
Saat perbedaan jadi keindahan
Langit pun berbahasa
Dan bersenandung ria
Lantunkan lagu rindu antara engkau dan aku
Oh sahabat…
Langit pun berbahasa
Tanda bersuka cita
Sambut esok di mana kita kan slalu bersama
Selamanya…
Dan dengarlah, dengarlah selalu
Itulah semua tentang kita,
cerita bahasa langit.
11. Puisi Kebersamaan
Kebersamaan
(oleh Dea Y)
Kebersamaan suasana memang penting dalam keluarga
Engkau seperti penyempurna keluarga
Lama sudah rasanya, bosan
Untukku merasakan kebersamaan itu…
Aku sangat ingin merasakannya
Ramainya suasana yang hangat, telah menambah riang hati
Gelap yang kurasakan, bila tak ada rasa itu
Andai aku bisa merasakan semua ini…
Kemanakah engkau harus kucari
Wahai kebersamaan…
Berikanlah aku sekali saja rasa itu
Oh Tuhan…
Contoh Puisi Ibu
12. Sajak Ibunda
Sajak Ibunda
(oleh W.S. Rendra)
Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.
Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.
Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan,
dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.“
Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.
13. Puisi Wajah Ibu dalam Skripsi
Wajah Ibu dalam Skripsi
(oleh Imam Budiman)
di lembar-lembar skripsi,
kucari-cari sisa wajah ibu.
bagaimana kabar ketulusan
di balik purba rahimnya?
ibu lebih setia merentang jarak
di antara lembah dua spasi.
di sela kata, ia mengintip dengan tatap yang entah.
di celah waktu, ia mendoakan meski tiada kabar.
di ujung bab lima, ia purna menuju Tuhan.
14. Puisi Kasih Ibu
Kasih Ibu
(oleh Helen Steiner Rice)
Kasih seorang ibu adalah sesuatu
bahwa tidak seorang pun dapat menjelaskannya
Itu terbuat dari pengabdian yang mendalam
dan pengorbanan dan rasa sakit
Itu tidak ada habisnya dan tidak egois
dan bertahan apapun yang mungkin terjadi
Karena tidak ada yang bisa menghancurkannya
atau ambillah cinta itu
Itu sabar dan pemaaf
ketika semua orang lain meninggalkannya
Dan itu tidak pernah gagal atau terputus-putus
15. Puisi Belajar dari Ibu
Aku Belajar Darimu
(oleh Joanna Fuchs)
Aku belajar tentang cinta darimu
Melihat kepedulian kamu
Aku belajar tentang kebahagiaan dari kamu
Di hari kemarin yang menyenangkan.
Darimu aku belajar memaafkan
Kesalahan baik besar maupun kecil.
Aku belajar apa yang saya ketahui tentang hidup darimu
Saat kamu memberikan hidupmu seutuhnya.
Teladan yang kamu berikan masih ada padaku
Aku tidak akan pernah menginginkan yang lain.
Aku bersyukur atas semua yang kamu ajarkan padaku
Dan aku diberkati untuk memanggilmu “Ibu”
Contoh Puisi Tentang Kota
16. Puisi Koplo Kota Tua
Koplo Kota Tua
(oleh Esha Tegar Putra)
Aku turut berjoget di jalanan kota tua, istriku. Turut larut dalam sihir angklung tegalan bersama rombongan muda-mudi bahagia. Barangkali mereka dari Bojong, Sawangan, atau mungkin pelancong Sumatera tersesat dan kehabisan sewa losmen.
Aku turut berjoget bersama mereka. Karena dalam joget aku lihat bagian sebenarnya dari kota ini. Kota dimana patung-patung dipahat dari gamping gunung lalu dibenamkan dalam akuarium. Kota dimana mataku ditundukkan tembakan laser dan jantungku dibuat remuk udara menggila. Kota dengan orang-orang memasang lentera pada pantat mereka, melipat nasib dalam ponsel, berdoa sekaligus mengumpat sebisanya agar jalur-jalur trem dibangun dengan segera.
Kupasang baju hangat, kuselempangkan sarung, dan aku turut berjoget di jalanan kota tua itu. Aku jadi paham, bahwa revolusi turut dikumandangkan dalam dangdut koplo. Aku terus berjoget sebab mereka juga terus berjoget. Bagian lain dari kota ini telah menemukan juru selamat mereka: tukang gendang berkaki pincang, pemain angklung bermuka murung, serta biduanita dengan dada tersumbul semenjana.
Dalam joget aku juga ingat kota kita. Serasa dihembus angin pedalaman itu pada punggungku, serasa sampai debur ombak yang tertahan itu ke pangkal telingaku, dan serasa dipiuh-dipilin tali jantungku pada retakan tungku batu. Dalam joget aku terus terbayang jauh ke seberang sana, ke kota kita. Di sana, sebuah puisi akan terus tumbuh, akan terus bergemuruh.
17. Puisi Menjadi Kemacetan
Menjadi Kemacetan
(oleh M. Aan Mansyur)
kita lelah dan
mesin mesin tidak tahu bergerak
kau ingin aku menjadi sesuatu
yang ringan dan pandai terbang
aku lebih suka andai bisa menjadi mobil
bertumpuk di belakang pabrik
yang sudah pensiun
atau belukar yang menjadikannya taman
ular dari jendela mobil yang gelisah
tidak ada yang tampak indah bahkan
matahari yang menenggelamkan diri
dan jingga sebagian
hujan sejak lama sudah sial tercatat
di laporan tahunan departemen sosial
selebihnya
memilih sembunyi di sajak siapa penyair itu
dan aman jadi laut
atau langit
atau cuaca tanpa
ada yang mengubah namanya jadi keluhan
kau ingin aku jadi kekasih atau puisi yang tangannya
bisa memijat betismu yang kram
aku lebih suka andai bisa jadi trotoar
atau pohon tua
yang mengajakmu berlari-lari kecil
seperti bocah riang pulang sekolah
kita lelah dan kata-kata dusta
dan kota-kota jauh jatuh
dari layar telepon genggammu yang lelah
kau pandangi
kau sedih seolah semua orang yang kau
kenal tiba-tiba menghapusmu
kau ingin aku menjadi negara
atau hal-hal lain yang gemar berlibur
aku lebih suka andai bisa jadi buku
dongeng yang kau baca di tempat tidur
kau peluk aku
sambil tertawa membayangkan kita
sepasang anak kecil yang selamanya
ku peluk kau sambil membayangkan
lengan kita adalah negara satu satunya
mesin mesin ini tetap bodoh
dan tak tahu bergerak
teleponmu basah dan mati
dan lepas dari genggaman
tidur
atau mungkin maut memasuki tubuhmu
pelan-pelan
matamu museum kupu-kupu
ku lihat mimpi satu demi satu keluar dari
sana
aku
seperti biasa memikirkan cita-citaku
yang selalu
ingin segera berhenti jadi buruh
Baca Juga: Perbedaan Buku Fiksi dan Non Fiksi dari Ciri, Struktur, serta Contoh
18. Puisi Berlibur di Kota Seberang
Berlibur di Kota Seberang
(oleh Catur Kristiyani)
Gemuruh suara cecak mengusikku malam itu
Tanpa harsa dalam atma hidup ini serasa dibakar api menyala Daun jati bergoyang tanpa buta di kegelapan malam
Aku masih sendiri di kota seberang Berkawan mimpi bertaburan berlian
Bunda…
Tanpa dikau jiwa ini tanpa makna
Rindu yang membara terukir dalam atma Entah bersembunyi di mana harsa
Sampai kini hanya gundah yang menetap Gelisah bercampur pilu
Rindu oh rindu
Bukan rindu soal uang
Tapi rindu bertemu salah satu insan
Bunda…
Aku tak tahu kapan bahagia ini datang
Aku diam berkawan kertas tanpa kota kelahiran
Berlibur di kota seberang tak seindah bercanda di hari petang bersama bunda Senyumanmu selalu mengusik jiwaku yang malang tanpa kehadiranku dalam pelukan hangatmu
19. Elegi Jakarta
Elegi Jakarta
(oleh Diah Hadaning)
Elegi Jakarta
Langit kota tak sajikan
bintang malam ini
langit kota tak riapkan kabut
menguap dari kolam-kolam
ada tatap menusuk langit
menetes darah
menggenang kehitaman.
Di jalan-jalan
di taman-taman
di atap-atap rumah
di sudut-sudut hati
di titik sunyi.
Diri jadi ciliwung
kehilangan langit berkaca
saat dering-dering jahanam
mengoyak siang mengoyak malam
mengoyak langit kota
mengoyak langit sukma
mengembang sisa lagu duka.
Jakarta, November 1984
Contoh Puisi Pendek
20. Puisi Yang Fana Adalah Waktu
Yang Fana Adalah Waktu
(oleh Sapardi Djoko Damono)
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi,
yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu. Kita abadi.
21. Puisi Malam Lebaran
Malam Lebaran
(oleh Sitor Situmorang)
Bulan di atas kuburan.
22. Puisi Di Atas Meja
Di Atas Meja
(oleh Joko Pinurbo)
Di atas meja kecil ini
masih tercium harum darahmu
di halaman-halaman buku.
Sabda sudah menjadi saya.
saya akan dipecah-pecah
menjadi ribuan kata dan suara.
23. Puisi Solipsistis
Solipsistis
(oleh Ibe S. Palogai)
ia dayung sampan ke biru hindia
seperti mengajarinya kaidah melarikan diri
sebab di daratan, berkali tapak jejaknya ditafsir
peluru buta pemburu.
Contoh Puisi Lama
24. Syair Si Burung Pingai
Syair Si Burung Pingai
(oleh Hamzah Fansuri)
Thair al-‘Uryan unggas ruhani
Di dalam kandang hadrat Rahmani
Warnainya pingai terlalu sufi
Tempatnya kursi yang maha ‘ali
Sungguhpun ‘uryan bukannya gila
Mengaji al-Qur’an dengan tertila
Tempatnya mandi sungai salsabila
Di dalam firdaus ra’su Zanjabila
Sungai ini terlalu ‘ali
Akan minuman Thayr al-‘Uryan
Setelah minun jadi hairani
Takar pun pecah belah serahi
Minuman itu terlalu larang
Harganya banyak artamu alang-alang
Badan dan nyawa jangan kau sayang
Inilah harga arak yang garang
Thayr al-‘Uryan mabuknya salim
Mengenal Allah terlalu alim
Demikianlah mabuk harus kau hakim
Inilah amal Sayyid Abu al-Qasim
Minuman itu tiada terbagi
Pada Ramadhan harus kau pakai
Halal Thayyiban pada sekalian sakai
Barang meminum dia tiadakan lalai
Minuman itu telalu sufi
Yogya akan syurbaty maulana qadi
Barang meminum dia Tuhan kita radi
Pada kedua alam ia Hayy al-Baqi
Minuman itu yogya kau permain
Supaya lupa engkau akan kain
Buangkan wujudmu cari yang lain
Inilah ‘Uryan pada ahl-batin
Jikau Engkau kasih akan nyawamu
Terlalu batil sekalian kerjamu
Akulah ‘Uryan jangankan katamu
Orang yang ‘Uryan bukan rupamu
Riya’ dan khayal tiada qabil
Pada orang arif yang sudah kamil
Lain dari pada mabuk dan ilmu wasit
Pada ahl-haqiqah sekalian batil
Riya’ dan khayal ilmu nafsani
Di manakan sampai pada ilmu yang ‘ali
Seperti bayazid dan Mansur Baghdadi
Mengatakan Ana al-Haqq dan Qawl Subhani
Kerjamu itu hai anak dagang
Pada ahl-ma’rifat terlalu malang
Markab tauhid yogya kau pasang
Di tengah laut yang tiada berkarang
Hamzah Fansuri di negeri Melayu
Tempatnya Kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiadakan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu
Baca Juga: Novel: Ciri, Struktur, Unsur, Jenis, Contoh, & Kebahasaannya
25. Syair Agama
Jauhi semua perbuatan jahat
Jauhi pula perbuatan maksiat
Mari kita segera bertaubat
Supaya selamat di dunia akhirat
Jangan lalaikan perintah-Nya
Kerjakan yang disuruh-Nya
Bertaubatlah kepada-nya
Dia pasti menerimanya
Ingatlah pada dosamu
Ingatlah akan kelalaianmu
Perbaiki hati dan dirimu
Tuhan pasti kan menyayangimu
26. Syair Nasihat
Rajin-rajinlah beribadat
Janganlah lupa mengerjakan salat
Dan perbanyaklah engkau berzakat
Untuk bekal nanti di akhirat
27. Gurindam Berangkai
Lakukan saja apa yang menurutmu benar
Lakukan saja apa yang menurutmu pantas
Hidup hanya bergantung pada hati
Karena hidup hanya sesaat dan kemudian mati
Bukalah pintu cinta dihatimu
Jangan pintu cinta dimatamu
Contoh Puisi Rakyat
28. Puisi Orang-Orang Miskin
Orang-Orang Miskin
(oleh W.S. Rendra)
Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kami abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya.
karna orang-orang miskin berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya terompah dan belacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tidak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu hindarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik jadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
di buku programa gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah:
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim.
29. Puisi Catatan
Catatan
(oleh Wiji Thukul)
gerimis menderas tengah malam ini
dingin dari telapak kaki hingga ke sendi-sendi
dalam sunyi hati menggigit lagi
ingat
saat pergi
dan pipi kiri kananmu
kucium
tak sempat mencium anak-anak
khawatir
membangunkan tidurnya (terlalu nyenyak)
bertanya apa mereka saat terjaga
aku tak ada (seminggu sesudah itu
sebulan sesudah itu
dan ternyata lebih panjang dari yang kalian harapkan!)
dada mengepal perasaan
waktu itu
cuma terbisik beberapa patah kata
di depan pintu
kaulepas aku
meski matamu tak terima
karena waktu sempit
aku harus gesit
genap 1/2 tahun aku pergi
aku masih bisa merasakan
bergegasnya pukulan jantung
dan langkahku
karena penguasa fasis
yang gelap mata
aku pasti pulang
mungkin tengah malam dini
mungkin subuh hari
pasti
dan mungkin
tapi jangan
kautunggu
aku pasti pulang dan pasti pergi lagi
karena hak
telah dikoyak-koyak
tidak di kampus
tidak di pabrik
tidak di pengadilan
bahkan rumah pun
mereka masuki
muka kita sudah diinjak!
kalau kelak anak-anak bertanya mengapa
dan aku jarang pulang
katakan
ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa yang sewenang-wenang
kalau mereka bertanya
“apa yang dicari?”
jawab dan katakan
dia pergi untuk merampok
haknya
yang dirampas dan dicuri
30. Syair Ken Tambuhan
Jika tuan menjadi air
Kakang menjadi ikan di pasir
Kata nin tiada kakanda mungkir
Kasih kakang batin dan lahir
Jika tuan menjadi bulan
Kakang menjadi pungguk merawan
Aria ningsun emas tempawan
Janganlah bercerai apalah tuan
Tuang laksana bunga kembang
Kakanda menjadi seekor kumbang
Tuanlah memberi kakanda bimbang
Tiadalah kasihan tuan akan abang
Jika tuan menjadi kayu rampak
Kakanda menjadi seekor merak
Tiadalah mau kakanda berjarak
Seketika pun tiada dapat bergerak
31. Syair Bidasari
Tersebutlah perkataan Bidasari
Setelah malam sudahlah hari
Bangunlah ia seorang diri
Makan dan minum barang yang digemari
Pergilah mandi Siti Bangsawan
Serta memakai bau-bauan
Lalu masuk ke dalam peraduan
Santap sirih di dalam puan
Bertemu sepah bekas dimakan
Diambil Siti dicampakkan
Dengan takutnya ia berfikirkan
Siapakah ini yang membuatkan
Jikalau manusia yang empunya
Nescaya aku dicabulinya
Jika ayahku datang adalah tandanya
Bertambahlah makanan yang dibawanya
Dilihatnya Siti tempat tidurnya
Tilam sedikit tersingkir alasnya
Sirih di puan salah aturannya
Bidasari masygul dengan takutnya
Ia pun duduk di atas geta
Sangatlah gundah rasanya cita
Seraya bertaburan air mata
Manakah tempat ia hendak dikata
Contoh Puisi Kritik Sosial
32. Puisi Aku Tulis Pamplet Ini
Aku Tulis Pamplet Ini
(oleh W.S. Rendra)
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi pengiyaan
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
33. Puisi Bunga dan Tembok
Bunga dan Tembok
(oleh Wiji Thukul)
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
34. Puisi Demi Setetes Minyak Goreng
Demi Setetes Minyak Goreng
(oleh Hendra Wattimena)
Langkah sepatu menjilat jalan penuh debu
Dihentikan antrian panjang Ibu-Ibu
Yang sedang menunggu di depan mini market
Saling dorong hingga bergugurun peluh
Sedang di media,
Bapak-Bapak berdasi saling lempar kesalahan
Sesekali bergerutu
Hingga hujan jatuh
Dan langit perlahan-lahan runtuh
Lalu, air hujan berubah
Jadi minyak goreng
Membanjiri jalanan
Menenggelamkan keserakahan
Hutan ditebang
Pohon sagu diganti sawit berhektar-hektar
Orang hutan lari ke kota
Mati di atas tanah sendiri
Orang kota pergi ke hutan
Membabat habis pohon dan kayu
Minyak-minyak goreng disiram
Mengalir deras di kantong pejabat
Sedangkan rakyat kecil meringis
Demi setetes minyak
Ibu rela menunggu di antrian panjang
Sedang para preman pasar
Asik menimbun minyak di gudang
Diam-diam tertawa terbahak-bahak
Melihat keadaan lalu minyak-minyak itu
Dijual dengan harga tinggi
Akhirnya, Ibu-Ibu yang kurang darah
Dibuatnya naik darah
35. Puisi Bendera-Bendera Partai
Bendera-Bendera Partai
(oleh Hendra Wattimena)
Warna-warni menari
Pada tembok pembatas jalan
Merah, kuning, hijau dan biru
Beradu pada setiap tikungan jalan
Pada setiap jembatan
Melambai-lambai ditiup Bayu
Foto Bapak tersenyum manis
Foto Ibu menatap sinis
Kepak sayap di lampu merah
Saling bersaing antara anak para mantan
Merah biru, sesekali kuning
Pria tampan tersenyum manis
Sedang Ibu masih tetap menatap sinis
Pada setiap ruas jalan
Spanduk-spanduk berdiri
Terkoyak-koyak janji manis
Pencitraan di sana sini
Ibu menanam padi
Mematikan lagu lalu menari
Contoh Puisi Kemerdekaan
36. Puisi Kembalikan Makna Pancasila
Kembalikan Makna Pancasila
(oleh Mustofa Bisri atau Gus Mus)
selama ini di depan kami
terus kalian singkat-singkat pancasila
karena kalian takut ketauan
sila-sila yang kalian maksud
sila-sila yang kalian anut
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan
kepentingan-kepentingan sempit sesaat
telah terlalu jauh menyeret kalian
maka pancasila kalian pun selama ini adalah :
KESETANAN YANG MAHA PERKASA
KEBINATANGAN YANG DEGIL DAN BIADAB
PERSETERUAN INDONESIA
KEKUASAAN YANG DIPIMPIN OLEH MIKMAT KEPENTINGAN
DALAM KEKERABATAN / PERKAWANAN
KELALIMAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
dan sorga kamipun menjadi neraka
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan
merahputihnya di cabik-cabik
anak-anaknya sendiri bagai serigala
menjarah dan memperkosanya
o, gusti kebiadaban apa ini ?
o, azab apa ini ?
gusti,
sampai memohon ampun kepada Mu pun
kami tak berani lagi
37. Puisi Penjahat Kemanusiaan
Penjahat Kemanusiaan
(oleh Moh. Zahirul Alim)
Bukan tentang apa yang kau rasakan hari ini
bukan pula tentang apa yang kau nikmati detik
ini ini tentang apa yang mereka alami selama ini
sekian lama mereka kau tindas
sekian lama sudah mereka kau sakiti
sekian lama mereka kau hancurkan
dengan peluru, bom, roket, dan senjata canggih
rusak betul hidup mereka
lengkap benar nestapa mereka
sampai kapan mereka harus menerima
semua perlakuan ini
sampai kapan mereka harus menanggung duka ini
hai kamu yang berambisi besar untuk mencaplok bumi Tepi Barat
dan merampas hak-hak manusia tak berdosa
sadarlah, roda akan selalu berputar
ingatlah tidak selamanya kamu yang menindas
dan mereka tertindas
ingat, segala sesuatu ada waktu dan gilirannya
38. Puisi Hari Itu, Bangsaku Bahagia
Hari Itu, Bangsaku Bahagia
(oleh Asty Kusumadewi)
Indonesia adalah negara kaya
Negara penuh budaya
Negara yang selalu jaya
Di setiap generasinya
Namun, ada kisah nyata di balik itu semua
Penjajahan di mana-mana
Perjuangan melawan penjajah durjana
Dengan semangat juang 45
Pertumpahan darah di tanah air
Saksi bisu perjuangan bangsa
Dengan satu keinginannya
Tekad kuat untuk merdeka!
Merdeka, merdeka, merdeka!
Hari itu bangsaku bahagia
17 Agustus 1945
Indonesia merdeka dari segala sengsara dan lara
39. Puisi Gugur
Gugur
(oleh W S Rendra)
Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua luka-luka di badannya
Bagai harimau tua susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya di antaranya anaknya
Ia menolak dan tetap merangkak menuju kota kesayangannya
Ia merangkak di atas bumi yang dicintainya
Belum lagi selusin tindak maut pun menghadangnya
Ketika anaknya memegang tangannya, ia berkata:
Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata:
Lihatlah, hari telah fajar!
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
Nanti sekali waktu seorang cucuku akan menancapkan bajak di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya”
Contoh Puisi Perjuangan
40. Puisi Demi Orang-orang Rangkasbitung
Demi Orang-orang Rangkasbitung
(oleh W.S. Rendra)
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Salam sejahtera!
Nama saya Multatuli
Datang dari masa lalu.
Dahulu abdi Kerajaan Belanda,
ditugaskan di Rangkasbitung,
ibukota Lebak saat itu.
Satu pengalaman penuh ujian.
Rakyat ditindas oleh bupati mereka sendiri.
Petani hanya bisa berkeringat,
tidak bisa tertawa,
dan hak pribadi diperkosa.
Demi kepentingan penjajahan,
Kerajaan Belanda bersekutu dengan
kejahatan ini.
Sia-sia saya mencegahnya.
Kalah dan tidak berdaya.
Saya telah menyaksikan
bagaimana keadilan telah dikalahkan
oleh para penguasa
dengan gaya yang anggun
dan sikap yang gagah.
Tanpa ada ungkapan kekejaman
di wajah mereka.
Dengan bahasa yang rapi
mereka keluarkan keputusan-keputusan
yang tidak adil terhadap rakyat.
Serta dengan budi bahasa yang halus
mereka saling membagi keuntungan
yang mereka dapat dari rakyat
yang kehilangan tanah dan ternaknya.
Ya, semuanya dilakukan
sebagai suatu kewajaran.
Dan bangsa kami di negeri Belanda
pada hari Minggu berpakaian rapi,
berdoa dengan tekun.
Sesudah itu bersantap bersama,
menghayati gaya peradaban tinggi,
bersama sanak keluarga,
menghindari perkataan kotor,
dan selalu berbicara
dalam tata bahasa yang patut,
sambil membanggakan keuntungan besar
di dalam perdagangan kopi,
sebagai hasil yang efisien
dari tanam paksa di tanah jajahan.
Dengan perasaan mulia dan bangga
kami berbicara
tentang suksesnya penaklukan dan penjajahan.
Ya, begitulah.
Kami selalu mencuci tangan sebelum makan
dan kami meletakkan serbet
di pangkuan kami.
Dengan kemuliaan yang sama pula
ketika kami memerintahkan para marsose
agar membantai orang-orang Maluku dan
orang-orang Java
yang mencoba mempertahankan
kedaulatan mereka!
Ya, kami adalah bangsa
yang tidak pernah lupa mencuci tangan.
Kita bisa menjadi sangat lelah
apabila merenungkan gambaran kemanusiaan
dewasa ini.
Orang Belanda dahulu
juga mempunyai keluh kesah yang sama
apabila berbicara tentang keadaan mereka
di zaman penjajahan oleh Spanyol.
Mereka memberi nama yang buruk
kepada Pangeran Alba yang sangat menindas.
Tetapi sekarang pakah mereka lebih baik
dari Pangeran yang jahat itu?
Tentu tidak hanya saya
yang merasa gelisah
terhadap dawat hitam
yang menodai iman kita.
Pikiran yang lurus menjadi bercela
karena tidak pernah bisa tuntas
dalam menangani keadilan.
Sementara waktu terus berjalan
dan terus memperlihatkan keluasan
keadaannya.
Kita tidak bisa seimbang
dalam menciptakan keluasan ruang
di dalam pemikiran kita.
Memang kita telah bisa berpikir
lebih canggih dan kompleks,
tetapi belum bisa lebih bebas
tanpa sekat-sekat
dibanding dengan keluasan waktu.
Bagaimana keadilan bisa ditangani
dengan pikiran yang selalu tersekat-sekat?
Ya, saya rasa kita memang lelah.
Tetapi kita tidak boleh berhenti di sini.
Bukankah keadaan keadilan di sini
belum lebih baik dari zaman penjajahan?
Dahulu rakyat Rangkasbitung
tidak mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati Lebak.
Sekarang
apakah rakyat kecil
sudah mempunyai hak hukum
apabila mereka berhadapan kepentingan
dengan Adipati-adipati masa kini?
Dahulu
Adipati Lebak bisa lolos dari hukum.
Sekarang
Adipati-adipati yang kejam dan serakah
apakah sudah bisa dituntut oleh hukum?
Bukankah kemerdekaan yang sempurna itu
adalah kemerdekaan negara dan bangsa?
Negara anda sudah merdeka.
Tetapi apakah bangsa anda juga
sudah merdeka?
Apakah bangsa tanpa hak hukum
bisa disebut bangsa merdeka?
Para pemimpin negara-negara maju
bisa menitikkan air mata
apabila mereka berbicara tentang democratie
kepada para putranya.
Tetapi dari kolam renang
dengan sangat santai dan penuh kewajaran
mereka mengangkat telefoon
untuk memberikan dukungan
kepada para tiran dari negara lain
demi keuntungan-keuntungan materi bangsa
mereka sendiri.
Oh! Ya, Tuhan!
Saya mengatakan semua ini
sambil merasakan rasa lemas
yang menghinggapi seluruh tubuh saya.
Saya mencoba tetap bisa berdiri
meskipun rasanya
tulang-tulang sudah hilang dari tubuh saya.
Saya sedang melawan perasaan sia-sia.
Saya melihat
negara-negara maju memberikan
bantuan ekonomi.
Dan sebagai hasilnya
banyak rakyat dari dunia berkembang
kehilangan tanah mereka,
supaya orang kaya bisa main golf,
atau supaya ada bendungan
yang memberikan sumber tenaga listrik
bagi industri dengan modal asing.
Dan para rakyat yang malang itu, ya Tuhan,
mendapat ganti rugi
untuk setiap satu meter persegi dari tanahnya
dengan uang yang sama nilainya
dengan satu pak sigaret bikinan Amerika.
Barangkali kehadiran saya sekarang
mulai tidak mengenakkan suasana?
Keadaan ini dulu sudah saya alami.
Apakah orang seperti saya harus dilanda
oleh sejarah?
Tetapi ingat:
sementara sejarah selalu melahirkan
masalah ketidakadilan,
tetapi ia juga selalu melahirkan
orang seperti saya.
Menyadari hal ini
tidak lagi saya merasa sia-sia atau tidak sia-sia.
Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
kita sama-sama memahami sejarah.
Senang atau tidak senang
ternyata tuan-tuan tidak bisa
meniadakan saya.
Nama saya Multatuli
saya bukan buku yang bisa dilarang
dan dibakar.
Juga bukan benteng yang bisa
dihancurleburkan.
Saya Multatuli:
sebagian dari nurani tuan-tuan sendiri.
Oleh karena itu
saya tidak bisa disamaratakan dengan tanah.
Tuan-tuan, para penguasa di dunia,
apabila ada keadaan yang celaka,
apakah perlu ditambah celaka lagi?
Pada intinya inilah pertanyaan sejarah
kepada anda semua.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya
yang hadir di sini,
setelah memahami sejarah,
saya betul tidak lagi merasa sepi.
Dan memang tidak relevan lagi bagi saya
untuk merasa sia-sia atau tidak sia-sia,
sebab jelaslah sudah kewajiban saya.
Ialah: hadir dan mengalir.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
terima kasih.
41. Puisi Krawang-Bekasi
Krawang Bekasi
(oleh Chairil Anwar)
Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi,
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi kami adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi ada yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi.
Baca Juga: Teks Pidato: Pengertian, Struktur, Ciri, Metode, dan Contoh
Contoh Puisi Sejarah
42. Puisi Sjahrir di Sebuah Sel
Sjahrir di Sebuah Sel
(oleh Goenawan Mohamad)
Dari jendela selnya,
(kita bayangkan ini Jakarta,
Februari 1965, dan ruang itu lembap,
dan jendela itu rabun),
ia merasa siluet pohon
mengubah diri jadi Des,
anak yang berjalan dari selat
memungut cangkang nyiur,
dan melemparkannya
ke ujung pulau.
“Aku selalu berkhayal tentang selat,
atau taman kembang, atau anak-anak.”
Itu yang kemudian ditulisnya
di catatan harian.
Maka ditutupkannya daun jendela
dan ia kembali ke meja,
ke peta dengan warna laut
yang tak jelas lagi.
Ia cari kapal Portugis.
Tapi Banda begitu pekat, dan laut
menyembunyikan ingatannya.
(Seorang pemetik pala
pernah mengatakan itu
di sebuah bukit
kepada Hatta)
Kini ia mengerti: juga peta
menyembunyikan ingatannya,
seperti malam Rusia
menyembunyikan sebuah kota.
Tiap pendarat tak akan
mengenali letak dangau,
jejak ketam pasir,
batang rambai yang terakhir,
di mana sisa hujan
agak disamarkan.
“Sjahrir. Bukankah lebih baik lupa?”
Seekor ular daun pernah menyusup
ke sandalnya dan ia ingat ia berkata,
“Mungkin. Mungkin aku tak akan mati.”
Esoknya ia berlayar.
Di jukung itu anak-anak mengibarkan
bendera negeri yang belum mereka kenal.
“Lupa adalah…”
“Jangan kau kutip Nietzsche lagi!”
“Tidak, Iwa. Aku hanya ingin tahu
sejauh mana kita merdeka.”
Di beranda rumah Tjipto,
di tahun 1936 itu,
percakapan sore,
di antara pohon-pohon Naira,
selalu menentramkan.
“Jangan beri kami attar
dan tuhan imperial.”
seseorang menirukan doa.
“Tapi kita dipenjarakan, bukan?”
Ya, tapi ini penjara yang pertama,
yang memisahkannya dari ingin
dan kematian.
“Ah, lebih baik kita diam,”
kata tuan rumah.
“Abad ke-20 adalah abad
yang memalukan.”
Di sana, di beranda rumah Tjipto,
menjelang malam, di tahun 1936,
mereka selalu tertawa
mengulang kalimat itu.
Di sini, (kita bayangkan di Jakarta,
Rumah Tahanan Militer, 1965),
ia tak pernah merasa begitu sendiri.
Hanya ada suara burung tiung
(atau seperti suara burung tiung)
ketika siang diam.
Tapi ia takut duduk.
Ia tak ingin menghadap ke laut,
(andaikan ada laut),
seperti patung Jan Pieterszoon Coen,
seperti pengintai di menara benteng
yang menunggu kapal-kapal
di dekat langit
sebelum perang.
Ia tak ingin duduk.
“Siapa yang menatap jurang dalam,
jurang dalam akan menatapnya.”
Mungkinkah ia sendiri
yang mengucapkannya di sel itu?
43. Puisi Stalingrad, Sebuah Pagi
Stalingrad, Sebuah Pagi
(oleh Laras Sekar Seruni)
saya mengingat sebuah kisah–pagi yang
temaram, dan Sungai Volga menyimpan
peluh terakhirnya.
hari itu, rumput pada tanah tidak pernah
mengenal deru senapan, bahkan bangunan-bangunan
masih tertinggal di
pondasinya.
tapi Stalin tertinggal di tanggal sejarah–ia
mengubah Stalingrad sebagai kotanya,
dan menaburkan nama-nama baru bagi kawanan
camar.
dan Stalin, ia berkaca pada tahun 1901,
ketika roti dan gandum menemukannya di
tepi jalan Kremlin.
sudahkah engkau mati?
sudahkah engkau mati setelah pagi yang kau
binasakan-sebuah pertarungan besar
melawan führer dan kawanan anjing dari
Jerman?
betapa saya mengamini, hanya Volgograd
yang merapikan isi kepalanya setelah salju
terakhir di ujung minggu. sementara
Stalingrad adalah sebuah kisah–Stalin yang
memungut puntung rokok dari dahimu,
melinting hidupmu dalam detik-detik bisu.
Contoh Puisi Tentang Alam
44. Puisi Pengayuh Rakit
Pengayuh Rakit
(oleh Inggit Putria Marga)
sebab segala yang mendatanginya selalu pergi setelah beberapa puluh hari sambil duduk mendekap lutut di tepian rakit, kepada air sungai yang penuh wajah matahari, pengayuh rakit meratapi perannya di kelahiran kali ini yang baginya, serupa sepetak tanah yang hanya layak ditanami sawi: tanah gembur dan berhumus di lapisan pertama, keras dan berbatu di lapis-lapis lainnya.
tak ada tanaman tahunan yang dapat subur di tanah seperti itu. mereka hidup tapi hidup seperti payung terkatup. pokok jati di belakang rumahnya semacam bukti: belasan tahun akar menjalar, tubuh hanya mampu setinggi lembu, daun kalah lebar dengan daun telinga anak gajah, lingkar batang lebih ramping daripada lingkar pinggang atlet renang. jati yang tumbuh terhambat kerap membuatnya ingat pada pohon cita-cita yang sejak kecil tertanam di ladang dada: batang kerdil, daun mungil, tiada buah meski sepentil.
sementara para sawi, di tanah itu, dengan panjang akar hanya beberapa senti mampu mencapai puncak hidup dalam puluhan hari. daun-daun muda tengadah seperti tangan berdoa. daun-daun tua rebah di tanah bagai petualang istirah. sayang, sebelum kembang-kembang sawi lahir, hubungan tanah dan tumbuhan berakhir. sawi dicerabut. tanah melompong ditertawai kabut. melompong serupa wajahnya saat segala yang mendatangi hanya singgah beberapa puluh hari, lalu pergi: hewan atau manusia, malaikat atau hantu, bahagia atau pilu.
alih-alih menjemput penumpang di tepi sungai untuk diantar menyeberang pengayuh rakit terus-menerus meratap buaya menyembul dengan mulut mangap
45. Puisi Monolog Tentang Ibu
Monolog Tentang Ibu
(oleh Laras Sekar Seruni)
/I/
ibu bercerita tentang rentang impian anak-anak hujan berwajah jendela. di sisi kirinya tersemat pusaka tanah rampasan perang yang didekap senandung gamelan. di sisi kanannya tercurah kesuburan nan teduh untuk memikat kehidupan.
/II/
ibuku, kawan, memiliki gunung yang rampai menembus awan. di atasnya angkasa perkasa menjadi penjaga tanpa cela. di bawahnya mengalir santun tetesan air dari mata nirwana. begitu luruh. begitu gemuruh. rambut ibuku mengakar pada sebidang inseptisol, menjengkal setiap kisah wanara yang dipenjara buku-buku tua.
/III/
ibuku menyibak tabir bisu dari senandung waktu. sedangkan ibumu melampaui jemari halaman bukit kencana di lembah terjamah mezbah.
46. Puisi Lebah
Lebah
(oleh Ni Wayan Astariasih)
Lebah,
Engkau mengisap sari-sari bunga
Untuk membuat madu
Wahai lebah,
Janganlah kau menyengat tubuhku
Wahai lebah,
Buatlah madu yang sangat enak
Contoh Puisi Perjalanan
47. Puisi Penjelajah
Penjelajah
(oleh Adimas Immanuel)
Hanya biru laut. Hanya laut.
Siang malam kita teropong.
Hanya biru laut, lembar tabut.
Bayang wajah yang terpotong.
Tiada bayang emas dan sutra.
Hanya hijau pesona selalu
berdenyut di kelopak mata.
Tapi aku tak cari pantai
hidup sudah cukup landai.
Aku hanya menantang
Tuhan yang semayam
dalam gejolak gelombang
: cinta adalah firman yang
Berangkat dari kutukan!
Hanya laut, kelebat kalut.
Kau masih tak tertempuh
tak mungkin turunkan sauh.
Letih penjelajahan ini
akan berakhir di mana
jika tak tertambat
di tanjung nyawamu?
Hanya wajahmu, rupa waktu
yang jika sirna dari makna
yang jika susut dari maksud
tetap ada di mana-mana.
48. Puisi Merapi; Fragmen Perjalanan
Merapi; Fragmen Perjalanan
(oleh Laras Sekar Seruni)
Merapi–sebuah
saksi yang
dirambati jutaan
kenangan, dengan
sisa-sisa
ranting patah,
warna tanah,
dan udara pagi yang
lesap bersama
tubuh kita di
pinggir cangkir
kopi.
Kita–sepasang
mata kata yang
enggan terjalin,
namun selalu
berpilin. kata
yang saling
menebak,
merebakkan
deburan kuasa
atas takdir-Nya.
sampai Merapi
terpejam,
mengamini
kepergian kita
menuju tembaga
waktu, memeluk
telaga waktu.
Baca Juga: Hikayat: Pengertian, Karakteristik, Jenis, Bentuk, dan Contoh
Contoh Puisi Kuliner
49. Puisi Sayur Buatan Ibuku
Sayur Buatan Ibuku
(oleh Ni Made Purnamasari)
Sayur buatan ibuku
seperti sajak yang pernah kutulis
Aku perlu garam, ibu
kata-kata menghilang
tak mau jadi hujan
tak mau jadi sajak
Sayur buatan ibuku
mengingatkan tentang kamarku
jaring laba-laba
potret ayahku
sajak yang terselip
di bawah lemari
aku tak suka terasi, ibu
derik jangkrik
mencuri sajak-sajakku:
sajak tentang bulan
tentang pohonan
atau jalan lengang
di sebuah kota
Aku perlu kata-kata
seperti bawang merah ini
seperti kau hambarkan sayur ini
Lalu adakah kecap di meja, ibu?
Sayur ini hambar
seperti sajak
yang pernah kutulis
50. Puisi Kuah Sup
Kuah Sup
(oleh Imam Budiman)
semangkuk kecil kuah sup
dengan cecahan wortel dan kol
menjadi pengantar tidur si anak gubuk
dalam tidur, ditemuinya ayah wortel
dan ibu kol di rumah mangkuk
-keduanya sedang bercinta
di dalam didih panci
ia membisikkan ke kuping panci:
kulumat kau, yah, sehabis-habisnya
kuremah kau, bu, sepayah-letihnya
namun selamanya ia merasa lapar
di sela-sela giginya yang tinggal piatu
Contoh Puisi Terjemahan
51. Puisi Kita Bahkan Kehilangan
Kita Bahkan Kehilangan
(oleh Pablo Neruda, diterjemahkan oleh Saut Situmorang)
Kita bahkan kehilangan senja ini.
Tak ada yang melihat kita jalan
bergandengan tangan
sementara malam yang biru ambruk ke dunia.
Kulihat dari jendelaku
pesta matahari tenggelam di puncak puncak pegunungan yang jauh.
Kadang sepotong matahari
terbakar seperti sebuah uang koin di antara tanganku.
Aku mengenangmu dengan jiwaku tergenggam
dalam kesedihanku yang sudah sangat kau tahu itu.
Di mana kau waktu itu?
Ada siapa lagi di situ?
Bilang apa dia?
Kenapa cinta mendatangiku tiba tiba
di saat aku sedih dan merasa kau betapa jauhnya?
Terjatuh buku yang biasanya dibaca
setelah senja tiba
Dan mantelku tergulung seperti seekor
anjing yang terluka di dekat kakiku.
Selalu, selalu kau mengabur lewat malam menuju ke mana senja pergi menghapus patung patung.
52. Puisi Para Kekasih
Para Kekasih
(oleh Rainer Maria Rilke, diterjemahkan oleh Tia Setiadi)
Saksikanlah bagaimana di pembuluh darah mereka segalanya
jadi ruh:
mereka dewasa dan tumbuh dalam satu sama lain
ibarat gandar, bentuk-bentuk mereka memusar dengan
gemetar,
menggasing dalam lingkarannya, menawan
dan berkilauan
saat dahaga, mereka pun beroleh minuman.
saat mengintai, dan saksikan: mereka pun
beroleh penglihatan.
biarkan mereka tenggelam ke dalam satu sama lain
demikianlah mereka saling menanggungkan satu sama lain
seketika
Contoh Puisi Cinta
53. Puisi Tidak Ada New York Hari Ini
Tidak Ada New York Hari Ini
(oleh M. Aan Mansyur)
Tidak ada New York hari ini.
Tidak ada New York kemarin.
Aku sendiri dan tidak berada di sini.
Semua orang adalah orang lain.
Bahasa ibu adalah kamar tidurku.
Ku peluk tubuh sendiri.
Dan cinta—kau tak ingin aku
mematikan mata lampu.
Jendela terbuka
dan masa lampau memasukiku sebagai angin.
Meriang. Meriang. Aku meriang.
Kau yang panas di kening. Kau yang dingin di kenang
Hari ini tidak pernah ada. Kemarin tidak nyata.
Aku sendiri dan tidak menulis puisi ini. Semua
kata tubuh mati semata.
Puisi adalah museum yang lengang. Masa remaja
dan negeri jauh. Jatuh dan patah. Foto-foto hitam
putih. Aroma kemeja ayah dan senyum perempuan
yang tidak membiarkanku merindukan senyum lain.
Tidak ada pengunjung. Tidak ada pengunjung.
Dibalik jendela, langit sedang mendung.
*
Tidak ada puisi hari ini. Tidak ada puisi kemarin.
Aku menghapus seluruh kata sebelum sempat menuliskannya.
54. Puisi Kepada Kamu yang Dihisap Kenangan
Kepada Kamu yang Dihisap Kenangan
(oleh Laras Sekar Seruni)
aku mencintainya
dengan seluruh
tubuh yang meluruh
aku mencintaimu
dengan waktu
yang begitu
terbatas
Contoh Puisi Ketuhanan
55. Puisi Manurung
Sudahkah kauajarkan kepadanya tentang wajah Kesedihan yang kelak datang kepadanya setelah dia selesai menciptakan Bumi dan isinya?
(oleh Faisal Oddang)
Dia tidak mengenali Kesedihan itu
: Kesedihan tidak berwajah dan tak pernah diberi nama.
Dia akan pergi meninggalkan semua hal kecuali tubuhnya,
termasuk kau–seorang ibu yang tidak berani memandang cermin.
seorang ibu yang takut melihat rasa enggan berjejalan dan tertahan
seperti puluhan onak yang menancap di kerongkonganmu.
Suamimu benar-benar Tuhan yang tidak tahu diri
dia hanya menitip sejumput sirih yang dia kunyah dari cerana,
lalu menghadiahkan rupa-rupa hal yang tidak kaumengerti untuk apa
: sebilah pisau kecil, sebuah mahkota, sepasang cincin milikmu dan
miliknya–yang tidak pernah cukup untuk mengganti semua hal yang
telah kalian rebut dengan paksa dari Batara Guru.
Dia tidak mengenal Kesedihan itu, tetapi Kesedihan mengenalinya.
: dia yang membuat adonan gunung, menggali ceruk danau,
memahat sungai, membentangkan lautan, serta menata hutan.
Dia yang menciptakan Bumi dan isinya tetapi dia bukan Tuhan.
Siapakah Dia? Dia Batara Guru yang malang, anak yang telah
kalian korbankan atau kalian utus sebagai tunas di Bumi
—seperti istilah suamimu untuk kehidupan yang asing dan jauh.
“Menyembahlah tiga kali kepadaku,” kata suamimu
dan katakan: Tuhanku, akulah hambamu. Katakan!”
Air mata Batara Guru jatuh bersama tubuhnya, dia berlutut.
Tuhan kembali berkata: “Sekarang kau manusia biasa, bukan Dewa.”
Sirih dikunyah dari sebuah cerana setelah itu, seorang budak sigap
menadah ludah Tuhan yang menatap anaknya sambil memejam
dan meniup ubun-ubunyya tiga kali, sebuah nyawa sempurna dicampakkan.
Batara Guru telah pergi, dia mati untuk hidup kembali.
Di dalam bambu betung, tubuh Batara Guru yang ringkih
menuju Bumi setelah sebuah pelangi dibentang sebagai jalan.
Kau di mana ketika anakmu pergi, o, Datu Palinge?
Rindu membangunkannya dari mati, dia menyadari takdir
telah menjadi kail untuk ikan yang dia pijahkan dalam dirinya
: dia mencampakkan umbai daun lontar dan menabur beras sangrai
untuk menciptakan rupa-rupa binatang. Dia telah mencampakkan hidupnya
pada saat yang sama dan mencampakkannya lagi beberapa saat kemudian
ketika dia tersedu dan air matanya tidak berubah jadi apa-apa.
“Aku tak memahami semua ini, Tuhanku: aku melihat petir bersabung,
aku melihat budak-budak yang datang dari langit, aku melihat
semuanya, tetapi di mana diriku yang kukenali dulu?”
Kau mendengar pertanyaan anakmu itu? Suamimu mendengarnya
tetapi baginya pertanyaan adalah doa yang tidak perlu dia jawab
sebagaimana doa yang tidak melulu butuh dikabulkan.
56. Puisi Doa
Doa
(oleh Chairil Anwar)
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
Cahaya Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk remuk
Tuhanku
Aku mengembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintu Mu aku bisa mengetuk
Aku tidak bisa berpaling
Contoh Puisi Bebas
57. Puisi Derai-Derai Cemara
Derai-Derai Cemara
(oleh Chairil Anwar)
cemara menderai sampai jauh,
terasa hari akan jadi malam,
ada beberapa dahan di tingkap merapuh,
dipukul angin yang terpendam.
aku sekarang orangnya bisa tahan,
sudah berapa waktu bukan kanak lagi,
tapi dulu memang ada suatu bahan,
yang bukan dasar perhitungan kini.
hidup hanya menunda kekalahan,
tambah terasing dari cinta sekolah rendah,
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,
sebelum pada akhirnya kita menyerah.
Baca Juga: Contoh Cerpen Singkat Berbagai Tema yang Seru dan Menarik
58. Puisi-Puisi Tanpa Judul
Puisi-Puisi Tanpa Judul
(oleh Avianti Armand)
1.
Di antara lembar-lembar buku itu ia temukan kerangka daun
yang sudah putih, kelopak-kelopak bunga — kering dan rapuh,
dan kupu-kupu mati yang segera jadi abu bila disentuh. Di
lembar-lembar berikut terselip jalan-jalan di kota berkanal
yang airnya hijau, kamar-kamar hotel murah setua debu, dan
bau mawar liar di jendela. Sesekali terdengar kepak sayap
dari merpati yang berebut jagung di piazza kota dan dingin
musim gugur yang tak pernah menyakitkan. Di lembar lain
terjepit tawa yang seringan bulu dari anak-anak yang berlari
menerbangkan layang-layang. Derum mobil tak tersimpan
di situ. Juga hujan yang membikin tanah jadi becek dan udara
berjamur.
Di antara lembar-lembar buku itu hanya ada memori yang
membasahi mata. Dan di halaman terakhir: perempuan itu.
2.
Bolehkah kusimpan pecahan cermin ini?
Untuk apa?
Untuk mengingatkanku pada satu saat di sebuah kampung
yang jalannya berbatu-batu dan batunya berbau kopi.
Untuk membawaku kembali pada sudut kecil
tempat sepotong bagel dihidangkan
dengan segelas anggur yang asamnya tak lekas hilang.
Untuk membuka pintu ke stasiun di mana kau
tinggalkan karcis
lusuh terserak di antara langkah orang-orang yang bergegas.
Lebih sederhana lagi–
untuk memanggilmu kembali.
Aku?
Kamu. Di cermin yang hanya sepotong ini
aku hanya bisa melihat:
Mataku.
3.
Ruang menyusut, meninggalkan kamu di dalam, dan aku
di luar. Matahari lisut. Tapi angin bernapas begitu keras,
menerbangkan daun-daun ke laut dan menarik-narik anak-
anak rambutku. Ke mana? Tanyamu. Aku terlanjur terbang,
sebelum sempat menjawab dan mengikat rambut.
Mungkin di satu hari baik nanti, kau akan temukan aku
tersangkut di cecabang kamboja yang dulu kau tanam di
sisa petak depan rumahmu yang tak pernah jadi.
4.
Mimpi pergi, ketika asap bakaran sampah mendesak masuk
ke kamar lewat kisi-kisi kayu yang rapat namun ompong
di sana-sini. Besok, tak akan ada lagi kerat roti yang kau olesi
mentega asin di piring. Kakimu tak lagi bisa mengusik debu
di depan pintu yang biasanya terbuka pada ketok ketiga.
Tak bakal kulihat kepul kopi susu menyaputi sebelah susumu
yang separuh terbuka.
Sungguh, aku tak kehilangan apa-apa.
5.
Kemarin kamu bilang: Jangan tinggalkan aku. Aku bisa mati.
Tapi mungkinkah pernah kamu serukan kalimat yang sama
pada perdu di samping rumah, kolam hijau pekat yang
dasarnya tak pernah kita lihat, kumpulan ketilang, juga pagi
yang malas?
Mereka berbisik sekarang.
59. Puisi Aku Setelah Aku
aku setelah aku : eyelight
(oleh Afrizal Malna)
aku berdiri sebagai reruntuhan, atau,
mungkin sebagai reruntuhan yang duduk di
depan monitor kesunyian. gelombang- gelombang
memori masih bergerak, seperti mesin scanner yang
mondar-mandir di atas keningku. batas kematianku
dan batas kecantikanmu, membuat tikungan yang
pernah dilalui para petapa. aku masih reruntuhan
dalam pelukanmu. batu-batu bergema dalam
puing-puingnya. menuntunku dari yang jatuh.
berenang dalam yang tenggelam. menghidupkan
gitar mati di mataku.
ketukan-ketukan kecil, putaran di kening,
lembah-lembah yang belum pernah kulihat. aku
berdiri melihat garis bibirmu dari matamu, garis
yang dilalui sebuah truk. seorang perempuan
menyetirnya dengan lengan kirinya yang patah.
ia gulingkan cermin-cermin busuk ke dalam kaca: aku
pada batas-batas berakhirnya aku. perempuan yang
kecantikannya melumpuhkan batas-batas militer.
parit-parit bekas peperangan, membuat mata rantai
baru ke telaga. bebaskanlah aku, bebaskanlah aku dari
kultur yang menawan kebinatanganku.
ia bergerak, kejutan-kejutan pendek dari setiap
bayangan puisi. garis awan lurus bekas pesawat
tempur dari matanya, semakin lurus dalam horison
keheningan: batas setelah manusia menyerahkan
dirinya kembali sebagai binatang. perempuan
yang kecantikkannya menyihirku sebagai lelaki setelah
lelaki, sebagai aku setelah aku. kecantikan yang
mengisi kembali botol-botol kosong dalam puisi,
setelah kekejaman di luar tutup botol.
aku ambil kembali mayatku dari lidahnya.
perempuan yang kecantikannya terus merajut
pecahan-pecahan kaca. aku tak percaya, tubuh
penuh jahitan setelah aku di depanku.
perempuan yang kecantikannya membangun
sebuah hutan di mataku, siang-malam,
mengisinya dengan binatang-binatang kecil, pagar jiwa dalam
cincin yang mengusir kehancuran makna. gua
bagi pemujaan tubuh dan burung-burung dalam
kicauannya. di dalam sarangnya, aku dan waktu
menjadi purba.
60. Puisi Lagu Penggali Kubur
Lagu Penggali Kubur
(oleh Dea Anugrah)
Seperti yang kautahu, di sinilah aku bertahan
di antara kembang gugur dan marmer itali
memaklumi jangat yang terbakar matahari
Kedua lenganku telah sama tua
dengan hapalan pertama seorang pendoa
Sebagaimana doa-doa itu memanjang ke langit
lenganku pun terbiasa memanjang ke bumi
memisahkan batu dari tanah
memecahkan segala yang tak terpisah
Dengan gerak tubuhku sendiri
dengan peluh milik jiwaku sendiri
kuciptakan konstelasi baru
kukarang semesta lainnya
dari delapan buah sudut yang sederhana
Istirahatku hanya mata
yang sesekali kupejamkan
bagai seorang penyanyi opera
ketika nada-nada yang rendah dan berat
melampaui menara hitam hasrat
dan menyentuh pusat jantungnya yang murung
Kadangkala kesunyian ini
membuatku berkhayal jadi seorang raja
atas negeri yang tak pernah dijajah, kaum
yang tidak menyerbu, wilayah yang dipertahankan
tanpa para pemanah dan tembok-tembok perbatasan
Tamuku bukanlah kaisar-kaisar asing
dalam ragam warna, bentuk, dan bahasa
bukan pula para utusan
pewarta kabar, bujuk, atau ancaman
Tamuku adalah orang-orang berjubah duka
bicara dalam bahasa duka
Dan manakala orang-orang itu pergi
kupandangi punggung mereka
sampai tak terlihat lagi, tahu
ia yang tak meninggalkan jejak kaki
berkisar di antaranya.
Baca Juga: Pengertian Fabel dan Legenda Beserta Ciri dan Contohnya
61. Puisi Sebuah Jaket Berlumuran Darah
Sebuah Jaket Berlumuran Darah
(oleh: Taufik Ismail)
Sebuah jaket berlumur darah
Kami semua telah menatapmu
Telah pergi duka yang agung
Dalam kepedihan bertahun-tahun.
Sebuah sungai membatasi kita
Di bawah terik matahari Jakarta
Antara kebebasan dan penindasan
Berlapis senjata dan sangkur baja
Akan mundurkah kita sekarang
Seraya mengucapkan ’Selamat tinggal perjuangan’
Berikara setia kepada tirani
Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?.
Spanduk kumal itu, ya spanduk itu
Kami semua telah menatapmu
Dan di atas bangunan-bangunan
Menunduk bendera setengah tiang.
Pesan itu telah sampai kemana-mana
Melalui kendaraan yang melintas
Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan
Teriakan-teriakan di atas bis kota, pawai-pawai perkasa
Prosesi jenazah ke pemakaman
Mereka berkata
Semuanya berkata
Lanjutkan Perjuangan.
62. Puisi Pada Suatu Hari Nanti
Pada Suatu Hari Nanti
(oleh: Sapardi Djoko Damono)
Pada suatu hari nanti,
Jasadku tak akan ada lagi,
Tapi dalam bait-bait sajak ini,
Kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
Suaraku tak terdengar lagi,
Tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
Pada suatu hari nanti,
Impianku pun tak dikenal lagi,
Namun di sela-sela huruf sajak ini,
Kau tak akan letih-letihnya kucari.
63. Puisi Jejak di Pasir
Jejak di Pasir
Ombak datang menghapus jejak,
Tapak kaki yang kau tinggalkan.
Pasir putih menyimpan kisah,
Tentang perjalanan yang tak kembali.
Angin laut menghembuskan sunyi,
Seolah menyapa masa lalu.
Namun jejakmu tetap tertanam,
Dalam hatiku yang tak pernah lapuk.
64. Puisi Dari Bentangan Langit
Dari Bentangan Langit
(oleh: Emha Ainun Najib)
Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
65. Puisi Rindu yang Mengambara
Rindu yang Mengembara
Rindu ini mengembara jauh,
Menelusuri waktu yang panjang.
Tak ada yang bisa menghentikan,
Kecuali tatapan matamu yang tenang.
Di setiap langkah yang kuambil,
Ada bayanganmu yang terus menemani.
Seperti bintang di langit malam,
Kau selalu hadir tanpa pernah pergi.
66. Puisi Herman
Herman
(oleh: sutardji calzoum bachri)
herman tak bisa pijak di bumi tak bisa malam di bulan
tak bisa hangat di matari tak bisa teduh di tubuh
tak bisa biru di lazuardi tak bisa tunggu di tanah
tak bisa sayap di angin tak bisa diam di awan
tak bisa sampai di kata tak bisa diam di diam tak bisa paut di mulut
tak bisa pegang di tangan takbisatakbisatakbisatakbisatakbisatakbisa
di mana herman? kau tahu?
tolong herman tolong tolong tolong tolongtolongtolongtolongngngngngng!
67. Puisi Mata Hitam
Mata Hitam
(oleh: WS Rendra)
Dua mata hitam adalah matahati yang biru
dua mata hitam sangat kenal bahasa rindu.
Rindu bukanlah milik perempuan melulu
dan keduanya sama tahu, dan keduanya tanpa malu.
Dua mata hitam terbenam di daging yang wangi
kecantikan tanpa sutra, tanpa pelangi.
Dua mata hitam adalah rumah yang temaram
secangkir kopi sore hari dan kenangan yang terpendam.
68. Puisi Arus Waktu
Arus Waktu
Waktu mengalir tanpa henti,
Membawa kita dari masa ke masa.
Semua yang kita lewati,
Adalah kenangan yang tak akan terlupa.
Seperti sungai yang tak pernah kembali,
Kita hanya bisa melangkah maju.
Menemukan makna di setiap detik,
Dalam perjalanan yang tiada jemu.
69. Puisi Roda Takdir
Roda Takdir
Hidup ini seperti roda berputar,
Kadang kita di atas, kadang di bawah.
Jangan terlalu sombong saat menang,
Jangan terlalu sedih saat kalah.
Setiap putaran membawa kita,
Ke tempat yang tak pernah terduga.
Yang terpenting adalah langkah kita,
Tetap berjalan dengan percaya.
70. Puisi Jejak Waktu
Jejak Waktu
Di setiap langkah yang kita ambil,
Ada jejak yang kita tinggalkan.
Tak selalu mulus, kadang berliku,
Namun semua itu adalah bagian dari kehidupan.
Kita tak tahu kapan waktu berhenti,
Tapi yang pasti, kita pernah mencoba.
Menapaki hari demi hari,
Dengan harapan dan doa di dada.
—
Wih, kamu berasa abis baca buku kumpulan puisi nih! Gimana, mantap kann puisi-puisi dari berbagai tema yang tadi udah kamu baca? Semoga abis ini kamu makin suka puisi dan makin pengen nulis puisi buatan kamu sendiri, ya!
Eitss, tapii, kamu bisa mendapatkan materi lebih dalam lagi lho tentang Puisi dengan bergabung di Brain Academy untuk belajar dengan para Master Teacher yang kece-kece dan keren-keren!
Referensi:
Anugerah, Dea. (2019) Misa Arwah. Yogyakarta: Shira Media.
Anwar, Chairil. (2020) Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Putus. Yogyakarta: Narasi
Armand, Avianti. (2016) Buku Tentang Ruang. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Budiman Imam (2018) Di Balik Kulit dan Belulang. Jakarta
Budiman, Imam (2021) Pelajaran Sederhana Mencintai Buku Fiksi. Yogyakarta: CV. Putra Surya Santosa
Budiman, Imam (2023) Salik Dakaik; Mencari Anak dalam Kitab Suci. Jakarta: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah
Damono, Sapardi Djoko (2016) Hujan Bulan Juni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Immanuel, Adimas. (2017) karena cinta kuat seperti maut. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Malna, Afrizal (2015) berlin proposal. Bandung: Penerbit Nuansa Cendekia
Mansyur, Aan M. (2016) Melihat Api Bekerja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mansyur, Aan M. (2016) Tidak Ada New York Hari Ini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Marga, Inggit Putria (2020) Empedu Tanah. Jakarta: Gramedia PUstaka Utama
Mohamad, Goenawan (2017) Fragmen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Neruda, Pablo (2017) Duapuluh Puisi Cinta & Satu Nyanyian Putus Asa. Yogyakarta: Indie Book Corner
Oddang, Faisal (2017) Manurung; 13 Pertanyaan untuk 3 Nama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Palogai, Ibe S. (2018) Cuaca Buruk Sebuah Buku Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pinurbo, Joko (2017) Selamat Menunaikan Ibadah Puisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Putra, Esha Tegar (2016) Sarinah. Jakarta: Grasindo
Rendra, W.S. (2017) Orang-Orang Rangkasbitung. Yogyakarta: Diva Press & Mata Angin
Rendra, W.S. (2022) Potret Pembangunan dalam Puisi. Bandung: Pustaka Jaya
Rilke, Rainer Maria (2020) Surat-Surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak. Yogyakarta: Penerbit Jual Buku Sastra
Sari, Ni Made Purnama (2021) Kawitan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Seruni, Laras Sekar & Alim, Moh. Zahirul (2022) Merawat Kata. Bandung: Penerbit Ellunar
Seruni, Laras Sekar (2018) Solilokui. Kediri: Forum Aktif Menulis
Thukul, Wiji (2017) Nyanyian Akar Rumput. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kembalikan Makna Pancasila [daring] Tautan: https://id.wikisource.org/wiki/Kembalikan_Makna_Pancasila (Diakses 24 September 2023)
Sajak-Sajak Imam Budiman [daring] Tautan: https://m.mediaindonesia.com/sajak-kofe/540282/sajak-sajak-imam-budiman (Diakses 24 September 2023)
Syair Si Burung Pingai (Thair Al-’Uryan)-Hamzah Fansuri [daring] Tautan: http://hamdiakhsanhikmah.blogspot.com/2011/06/syair-si-burung-pingai-thair-al-uryan.html (Diakses 24 September 2023)
Sumber Gambar:
freepik. Open Book Over More Book [daring]. Tautan: https://www.freepik.com/free-photo/open-book-more-books_4882527.htm#query=puisi&position=9&from_view=search&track=sph (Diakses: 24 September 2023)